Dahulu sekali, kala mentari pagi masih membayang diwajahnya
yang selalu tampak ceria dihadapanku, semuanya terasa indah. Dahulu sekali,
saat riak pelangi masih terpancar jelas dibalik senyumnya yang tulus kepadaku,
semuanya terasa membahagiakan. Dahulu sekali, saat sinar mentari masih
menghangatkan ketika aku berada dalam pelukannya, segalanya terasa ringan.
Namun itu dahulu. Jauh dimasa lampau. Ketika ia masih pagi.. Ketika ia masih
mengukir segala memori indah yang dulu dicita-citakan olehnya agar dapat
dikenang olehnya saat ini..
Saat ini? Ya.. Saat senja menggelayut diwajahnya yang
terlihat lesu, datar, tanpa ekspresi. Saat ini, saat senja telah merenggut
segala memori indah yang sengaja disimpannya, yang pada akhirnya malah berkarat
dan lambat laun berubah menjadi debu dan menghilang begitu saja.. Menguap
diudara.. Senja.. Kini ia senja..
***
“ Olin.. Urusin itu bapakmu. Ngerepotin banget sih? Pipis
kok sembarangan.. Kayak anak kecil aja!” Rian, suamiku terdengar menggerutu.
Ah.. Selalu saja.. Ini pasti karena ayah..
“ Maaf bang, tadi Olin lagi ngurusin sarapannya ayah. Jadi
agak kurang merhatiin kalau ayah ternyata udah berkeliaran keluar kamar kayak
gini.” Akupun segera menghampiri suamiku yang tampak berkacak pinggang
dihadapan ayahku yang terlihat jongkok. Dibawahnya terlihat aliran air yang
mengeluarkan aroma pesing. Suamiku tampak gusar luar biasa.
“ Makanya, abang kan udah nyaranin untuk nitipin ayah ke
panti jompo aja. Tapi kamunya sih ngeyel. Sekarang, siapa yang repot coba?
Kakak-kakakmu? Atau abang-abang kandungmu yang ngakunya punya harta mellimpah
ruah yang sombongnya ga karuan itu??” Suamiku berkata dengan suara yang sangat
tinggi.
“ Maaf bang, selama kita mampu, kenapa ngga kita aja yang
ngurusin orang tua kita bang.” Aku mencoba memberi pengertian kepada suamiku
yang tampak terengah menahan emosi.
“ Dan kamu mampu? Tidak kan? Sudah! Telpon saudara-saudara
kamu yang lain yang selalu sok kaya itu! Ini orang tua kan punya anak lebih
dari satu, ngapain mesti kamu sih yang memegang tanggung jawab penuh atas
dirinya? Mendingan kalau kamu sekaya saudara-saudaramu yang lain! Ini makan aja
susah!” Suamiku ternya belum mau mengerti.
“ Huuuaaaaa... Ja’aaaaaaaaaaaaaaaaaat.. Nciii!! Ncii!!” Ayah
mendadak menangis keras sambil menendang-nendangkan kakinya. Ayah menduduki air
kencingnya sendiri.
“ Udah deh Lin.. Aku capek! Kamu urusin deh orang tua
ngerepotin ini! Aku mau jalan-jalan aja.. Buang stress!!” Suamiku langsung
beranjak pergi meninggalkanku yang hanya sanggup mengelus dada sambil berdo’a
memohon kesabaran pada-Nya.
Kulihata ayah yang masih tampak menangis. Iba langsung
menghampiri hatiku. Kuhampiri ayah yang sesegukkan. Ku peluk pundaknya.
“ Ayah.. Maafin Olin ya.. Ayah.. Jangan nangis.. Olin ikut
sedih...”
Dan hari itu, hujan turun menghiasi senjanya yang semakin
temaram. Kurengkuh sang senja, sama seperti saat ia masih pagi, saat ia selalu
siap sedia meminjamkan bahunya sebagai tempatku bersandar sejenak berbagi beban
yang tengah menghimpit dibatinku.
***
“ Ga bisa Lin, aku sibuk. Banyak urusan. Mending kamu minta
tolong sama yang lain aja. Sudah dulu ya, aku lagi ada meeting nih. Ntar
kapan-kapan kalau sempat ku hubungi lagi. Dah..”
Klik! Sambungan telponpun terputus. Yah.. Begitulah Bang
Roy, anak sulung dikeluarga kami, selalu sibuk. Hari ini aku mulai menjalankan
perintah suamiku untuk menghubungi saudara-saudaraku dan meminta mereka untuk
membantuku mengurusi ayahku. Sebenarnya, sebagai anak aku tak tega memohon
bantuan kepada saudara-saudaraku yang lain, karena aku merasa masih mampu mengurusi
ayah dengan kemampuanku sendiri. Akan tetapi, dalam posisi seorang istri, aku
dilarang untuk menolak perintah suamiku.
Aku beralih menghubungi kakakku yang kedua, Kak Asti, dan
sesuai dugaanku, ia juga takbisa dan menyatakan alasan yang sama dengan alasan
Bang Roy, sibuk! Begitu pula dengan bang Arka, Kak Meta dan Kak Dian. Semuanya
menjadikan kesibukan mereka mencari duit dan mengurusi keluarga sebagai alasan
untuk menolak menampung ayah dirumah mereka.
Hhh.... Aku menghela nafas sejenak. Kutatap ayah yang tampak
riang memainkan kotak pasta gigi bekas. Mungkin, dalam imajinasi beliau kotak
bekas yang lebih pantas berada dalam tong sampah itu adalah pesawat mainan
super canggih. Hatiku tergelitik sekaligus miris menatapnya. Akan tetapi,
senyum ayah yang amat riang terlihat sangat indah dan mampu mengangkat seluruh
beban pikiran yang menjejali kepalaku selama kurang lebih 5 tahun ini.
Ah benar.. Dia.. Meskipun senja, senyumnya tetap sama..
Tetap menyimpan warna-warna pelangi yang indah dibaliknya. Meskipun warna-warna
pelangi tersebut mulai memudar.. Ku hampiri senja itu.. Mncoba menyelami dunia
yang hanya dihuni dirinya dan pikirannya saja. Senyum sang senja, sanggup
mengusir mendung yang menggelayuti dibenakku selama ini. Senja, aku bersyukur
memilikimu di bumi ini.
***
“ Kamu pilih aku atau ayahmu!” Mendadak suamiku berkata
tegas. Matanya memancarkan amarah luar biasa yag terpendam selama ini.
“ Bang, abang kok ngomong gitu sih? Kok abang nyuruh saya
milih ayah atau abang kayak gini?” Aku masih belum mampu menterjemahkan maksud
perkataan suamiku barusan.
“ Kamu kirim ayahmu ke panti jompo sesegera mungkin, atau
kita bercerai!” Suara suamiku terdengar semakin meninggi.
“ Astaghfirullah.. Bang.. Istighfar bang.. Abang kenapa
mendadak gomong kayak gini ke saya? Saya salah apa sama abang?”
“ Salah apa? Heh! Olin, kamu itu seharusnya sadar, diusia
ke-12 tahun pernikahan kita ini, kita sama sekali belum dikaruniai keturunan!
Itu semua karena kamu terlalu sibuk ngurusin ayah kamu yang kayak bayi ketuaan
itu! Belum lagi keadaan ekonomi kita yang semakin hari semakin menurun. Kamu
sebagai istri seharusnya mampu membantu aku menghidupi keluarga kita. Bukannya
malah nambah-nambahin beban dengan nampung ayah kamu yang bisanya cuma makan
tidur itu! Belum lagi saudara-saudaramu yang bisanya hanya menghinaku! Mau
taruh dimana harga diriku sebagai seorang pria Lin?? Memang dasarnya kamu sama
keluargamu itu bisanya Cuma bikin aku sakit hati!! Menyesal aku menjadi suamimu
Lin!”
Brakkk!!! Dan bang Rian membanting pintu kamar kami,
bergegas keluar meninggalkan aku yang menangis tersedu-sedu. Setelah itu,
suamiku tak pernah kembali lagi. Ia menghilang bak ditelan bumi. Tinggallah aku
sendiri bersama sang senja yang tampaksemakin muram. Entah apa yang ada didalam
fikirannya saat ini.
***
“ Nak.. Ntar kalau nyari suami, ga usah yang tampan atau
kaya ya.. Cari aja yang setia. Yang mau sama kamu apa adanya. Bukan karena ada
apanya. Seseorang yang sanggup mencintai kamu dan keluargamu dengan ketulusan
hati...” Ayah berkata sambil membelai lembut kepalaku yang terbungkus jilbab
berwarna pink yang tengah terbaring malas diatas pahanya.
“ Iyaa ayaah.. Do’ain Olin doong.. Semoga aja dapatnya
sesuai dengan apa yang Ayah inginkan.” Akupun berkata dengan nada malas seraya
menutup mulutku yang menguap menahan kantuk.
“ Pokoknya, kalau ayah tidak merestui, jangan nekat ya..” Ayah berkata dengan nada mengancam.
“ Iyaaa ayaah.. “ Akupun terlelap.
***
“ Sifatnya buruk Lin. Kurang sopan dan tidak tau tata krama.
Ayah kurang suka!” Ayah berkata dengan nada penuh amarah.
“ Ayah.. Sudah lah.. Rian kan kaya yah.. Kurang apa lagi
coba? Olin pasti bahagia kalau bisa menikah sama dia.” Bang Arka mencoba
membelaku.
“ Iya Yah. Rian itu memiliki kehidupan yang mapan. Masa
depan Olin dan anak-anaknya pasti terjamin Yah.” Kali ini Kak Meta yang angkat
suara.
“ Tapi Ayah kurang sreg dengan sikapnya yang tidak
menghormati Ayah sama sekali. Sama ayah saja dia tidak mampu bersikap hormat,
bagaimana mungkin ia sanggup menghargai Olin, anak Ayah, adik kalian!” Ayah
terlihat semakin gusar.
“ Tapi Ayah.. Olin beneran cinta sama Bang Rian yah..” Aku
berusaha melunakkan kerasnya hati Ayah.
“ Ayah.. Olin kan anak bungsu di keluarga kita ini, bisa ga
ayah untuk terakhir kalinya, satu kali inii saja tak usah turut campur dalam
urusan jodohnya. Sudah cukup kami saja menjadi korban Ayah yang selalu saja
merecoki urusan jodoh dan rumah tagga kami!” Bang Roy berkata tegas.
“ Dan buktinya kalian bahagia bukan? Jodoh pilihan kalian
yang Ayah restui, semuanya mampu membahagiakan kalian, kan?” Ayah bertanya
kepada saudara-saudaraku, mereka terdiam.
Ayah memang sosok yang keras. Namun aku tetap harus
memperjuangkan cintaku. Apapun yang terjadi. Pilihanku sudah pasti!
“ Terserah Ayah, setuju atau tidak, Olin akan tetap menikah
sama bang Rian!”
Ayah terlihat terengah menahan amarah, “ Baiklah, terserah
kamu! Pokoknya, sampai kapanpun Ayah tidak akan merestui hubungan kalian!”
Itulah kalimat terakhir yang ku dengar saat pagi kemudian
berubah mejadi siang yang begitu teriknya menuju senjanya yang teramat muram.
Ayah.. Pria yang kini semakin senja dan renta, saat itu teramat marah kepadaku
yag memutuskan untuk tetap menikah dengan pria pilihanku. Bertahun-tahun aku
terjebak dalam perang dingin ditengah senja yang semakin temaram. Hingga
akhirnya kusadari, bahwa Ayah benar..
Perkataannya benar! Pria pilihanku, tak lebih dari sekadar
manusia manja yang tak pernah mampu menghormati siapapun! Bukan hanya Ayah,
aku, dan para saudaraku, bahkan orang tuanya sendiripun tak pernah mampu ia
hargai!
Sesal itu datang terlambat.. Sosok yag senantiasa
menghadirkan kebahagiaan sehangat mentari pagi, seindah pelangi setelah rinai
hujan itu kini telah senja. Senja yang tampak hampa. Kosong..
Akan tetapi, menjelang malam menutupkan kedua matanya,
secercah cahay bintang tampak berkilau di kedua matanya yang semakin rapuh.
Bintang yang sanggup membawa ketegaran kedalam hatiku. Bintang yang menjadi
kenangan terahir darinya untukku..
***
“ Ayah tak pernah benar-benar sanggup untuk memarahimu
nak..” Ayah berkata sambil mengelus rambutku yang masih menangis tersedu-sedu
karena merasa bersalah kepada ayah akibatnilai Matematikaku yang jeblok akibat
keasyikan bermain video game semalam.
“ Ma.. Maaf ayah.. Olin gak akan mengulanginya lagi.. Maaf..”
Ayah hanya tersenyum lembut seraya merengkuhku ke dalam
pelukannya. Hangat.. Nyaman.. Dialah Ayah.. Senyuman dan pelukannya sehangat
cahaya mentari dipagi hari serta seindah pelangi memang selalu sanggup mengusir
gundah didalam hatiku.. Bahkan, saat gelap membayangi raut wajahnya yang
terlihat teduh menikmati tidur abadinya, senyum itu belum sirna. Guratnya masih
tergambar jelas.. Bedanya, senyum itu justru mengundang duka dalam hatiku. Senyum
yang segera menghilang ditelan bumi. Melebur bersama tanahNya, menuju pelukanNya,
dalam keabadian.
Tamat.
senja dibelakang rumahkuu..^~^ |
saya suka tulisan ini... ada dua tema yang saya tangkap, senja itu sendiri dan sosok ayah.. dua hal yang sudah dan akan saya jalani...:) tapi memang ya mbak, faktanya kaum lansia masih sering didiskriminasikan dan dianggap beban... saya sudh lihat sendiri waktu beberapa kali berkunjung ke panti jopmpo / panti werdha.... generasi muda harus lebih peduli karena mereka pun kelak akan menjadi tua juga #ups jadi pidato gini.. aniwei like this short story
BalasHapusHehehee.. Pidato singkatnya cukup mengingatkan saya akan siklus kehidupan yang sanggup merubah posisi kita dari yang berperan 'mengurus' menjadi 'yang diurus'..
HapusTerimakasih atas kunjungannya ya Pak.. Semoga dapat menjadi sosok ayah kebanggaan dan kesayangan keluarga..
^_^