Senin, 19 November 2012

Senja..


Dahulu sekali, kala mentari pagi masih membayang diwajahnya yang selalu tampak ceria dihadapanku, semuanya terasa indah. Dahulu sekali, saat riak pelangi masih terpancar jelas dibalik senyumnya yang tulus kepadaku, semuanya terasa membahagiakan. Dahulu sekali, saat sinar mentari masih menghangatkan ketika aku berada dalam pelukannya, segalanya terasa ringan. Namun itu dahulu. Jauh dimasa lampau. Ketika ia masih pagi.. Ketika ia masih mengukir segala memori indah yang dulu dicita-citakan olehnya agar dapat dikenang olehnya saat ini..
Saat ini? Ya.. Saat senja menggelayut diwajahnya yang terlihat lesu, datar, tanpa ekspresi. Saat ini, saat senja telah merenggut segala memori indah yang sengaja disimpannya, yang pada akhirnya malah berkarat dan lambat laun berubah menjadi debu dan menghilang begitu saja.. Menguap diudara.. Senja.. Kini ia senja..

***
“ Olin.. Urusin itu bapakmu. Ngerepotin banget sih? Pipis kok sembarangan.. Kayak anak kecil aja!” Rian, suamiku terdengar menggerutu.
Ah.. Selalu saja.. Ini pasti karena ayah..
“ Maaf bang, tadi Olin lagi ngurusin sarapannya ayah. Jadi agak kurang merhatiin kalau ayah ternyata udah berkeliaran keluar kamar kayak gini.” Akupun segera menghampiri suamiku yang tampak berkacak pinggang dihadapan ayahku yang terlihat jongkok. Dibawahnya terlihat aliran air yang mengeluarkan aroma pesing. Suamiku tampak gusar luar biasa.
“ Makanya, abang kan udah nyaranin untuk nitipin ayah ke panti jompo aja. Tapi kamunya sih ngeyel. Sekarang, siapa yang repot coba? Kakak-kakakmu? Atau abang-abang kandungmu yang ngakunya punya harta mellimpah ruah yang sombongnya ga karuan itu??” Suamiku berkata dengan suara yang sangat tinggi.
“ Maaf bang, selama kita mampu, kenapa ngga kita aja yang ngurusin orang tua kita bang.” Aku mencoba memberi pengertian kepada suamiku yang tampak terengah menahan emosi.
“ Dan kamu mampu? Tidak kan? Sudah! Telpon saudara-saudara kamu yang lain yang selalu sok kaya itu! Ini orang tua kan punya anak lebih dari satu, ngapain mesti kamu sih yang memegang tanggung jawab penuh atas dirinya? Mendingan kalau kamu sekaya saudara-saudaramu yang lain! Ini makan aja susah!” Suamiku ternya belum mau mengerti.
“ Huuuaaaaa... Ja’aaaaaaaaaaaaaaaaaat.. Nciii!! Ncii!!” Ayah mendadak menangis keras sambil menendang-nendangkan kakinya. Ayah menduduki air kencingnya sendiri.
“ Udah deh Lin.. Aku capek! Kamu urusin deh orang tua ngerepotin ini! Aku mau jalan-jalan aja.. Buang stress!!” Suamiku langsung beranjak pergi meninggalkanku yang hanya sanggup mengelus dada sambil berdo’a memohon kesabaran pada-Nya.
Kulihata ayah yang masih tampak menangis. Iba langsung menghampiri hatiku. Kuhampiri ayah yang sesegukkan. Ku peluk pundaknya.
“ Ayah.. Maafin Olin ya.. Ayah.. Jangan nangis.. Olin ikut sedih...”
Dan hari itu, hujan turun menghiasi senjanya yang semakin temaram. Kurengkuh sang senja, sama seperti saat ia masih pagi, saat ia selalu siap sedia meminjamkan bahunya sebagai tempatku bersandar sejenak berbagi beban yang tengah menghimpit dibatinku.
***
“ Ga bisa Lin, aku sibuk. Banyak urusan. Mending kamu minta tolong sama yang lain aja. Sudah dulu ya, aku lagi ada meeting nih. Ntar kapan-kapan kalau sempat ku hubungi lagi. Dah..”
Klik! Sambungan telponpun terputus. Yah.. Begitulah Bang Roy, anak sulung dikeluarga kami, selalu sibuk. Hari ini aku mulai menjalankan perintah suamiku untuk menghubungi saudara-saudaraku dan meminta mereka untuk membantuku mengurusi ayahku. Sebenarnya, sebagai anak aku tak tega memohon bantuan kepada saudara-saudaraku yang lain, karena aku merasa masih mampu mengurusi ayah dengan kemampuanku sendiri. Akan tetapi, dalam posisi seorang istri, aku dilarang untuk menolak perintah suamiku.
Aku beralih menghubungi kakakku yang kedua, Kak Asti, dan sesuai dugaanku, ia juga takbisa dan menyatakan alasan yang sama dengan alasan Bang Roy, sibuk! Begitu pula dengan bang Arka, Kak Meta dan Kak Dian. Semuanya menjadikan kesibukan mereka mencari duit dan mengurusi keluarga sebagai alasan untuk menolak menampung ayah dirumah mereka.
Hhh.... Aku menghela nafas sejenak. Kutatap ayah yang tampak riang memainkan kotak pasta gigi bekas. Mungkin, dalam imajinasi beliau kotak bekas yang lebih pantas berada dalam tong sampah itu adalah pesawat mainan super canggih. Hatiku tergelitik sekaligus miris menatapnya. Akan tetapi, senyum ayah yang amat riang terlihat sangat indah dan mampu mengangkat seluruh beban pikiran yang menjejali kepalaku selama kurang lebih 5 tahun ini.
Ah benar.. Dia.. Meskipun senja, senyumnya tetap sama.. Tetap menyimpan warna-warna pelangi yang indah dibaliknya. Meskipun warna-warna pelangi tersebut mulai memudar.. Ku hampiri senja itu.. Mncoba menyelami dunia yang hanya dihuni dirinya dan pikirannya saja. Senyum sang senja, sanggup mengusir mendung yang menggelayuti dibenakku selama ini. Senja, aku bersyukur memilikimu di bumi ini.
***
“ Kamu pilih aku atau ayahmu!” Mendadak suamiku berkata tegas. Matanya memancarkan amarah luar biasa yag terpendam selama ini.
“ Bang, abang kok ngomong gitu sih? Kok abang nyuruh saya milih ayah atau abang kayak gini?” Aku masih belum mampu menterjemahkan maksud perkataan suamiku barusan.
“ Kamu kirim ayahmu ke panti jompo sesegera mungkin, atau kita bercerai!” Suara suamiku terdengar semakin meninggi.
“ Astaghfirullah.. Bang.. Istighfar bang.. Abang kenapa mendadak gomong kayak gini ke saya? Saya salah apa sama abang?”
“ Salah apa? Heh! Olin, kamu itu seharusnya sadar, diusia ke-12 tahun pernikahan kita ini, kita sama sekali belum dikaruniai keturunan! Itu semua karena kamu terlalu sibuk ngurusin ayah kamu yang kayak bayi ketuaan itu! Belum lagi keadaan ekonomi kita yang semakin hari semakin menurun. Kamu sebagai istri seharusnya mampu membantu aku menghidupi keluarga kita. Bukannya malah nambah-nambahin beban dengan nampung ayah kamu yang bisanya cuma makan tidur itu! Belum lagi saudara-saudaramu yang bisanya hanya menghinaku! Mau taruh dimana harga diriku sebagai seorang pria Lin?? Memang dasarnya kamu sama keluargamu itu bisanya Cuma bikin aku sakit hati!! Menyesal aku menjadi suamimu Lin!”
Brakkk!!! Dan bang Rian membanting pintu kamar kami, bergegas keluar meninggalkan aku yang menangis tersedu-sedu. Setelah itu, suamiku tak pernah kembali lagi. Ia menghilang bak ditelan bumi. Tinggallah aku sendiri bersama sang senja yang tampaksemakin muram. Entah apa yang ada didalam fikirannya saat ini.
***
“ Nak.. Ntar kalau nyari suami, ga usah yang tampan atau kaya ya.. Cari aja yang setia. Yang mau sama kamu apa adanya. Bukan karena ada apanya. Seseorang yang sanggup mencintai kamu dan keluargamu dengan ketulusan hati...” Ayah berkata sambil membelai lembut kepalaku yang terbungkus jilbab berwarna pink yang tengah terbaring malas diatas pahanya.
“ Iyaa ayaah.. Do’ain Olin doong.. Semoga aja dapatnya sesuai dengan apa yang Ayah inginkan.” Akupun berkata dengan nada malas seraya menutup mulutku yang menguap menahan kantuk.
“ Pokoknya, kalau ayah tidak merestui, jangan nekat ya..”  Ayah berkata dengan nada mengancam.
“ Iyaaa ayaah.. “ Akupun terlelap.
***
“ Sifatnya buruk Lin. Kurang sopan dan tidak tau tata krama. Ayah kurang suka!” Ayah berkata dengan nada penuh amarah.
“ Ayah.. Sudah lah.. Rian kan kaya yah.. Kurang apa lagi coba? Olin pasti bahagia kalau bisa menikah sama dia.” Bang Arka mencoba membelaku.
“ Iya Yah. Rian itu memiliki kehidupan yang mapan. Masa depan Olin dan anak-anaknya pasti terjamin Yah.” Kali ini Kak Meta yang angkat suara.
“ Tapi Ayah kurang sreg dengan sikapnya yang tidak menghormati Ayah sama sekali. Sama ayah saja dia tidak mampu bersikap hormat, bagaimana mungkin ia sanggup menghargai Olin, anak Ayah, adik kalian!” Ayah terlihat semakin gusar.
“ Tapi Ayah.. Olin beneran cinta sama Bang Rian yah..” Aku berusaha melunakkan kerasnya hati Ayah.
“ Ayah.. Olin kan anak bungsu di keluarga kita ini, bisa ga ayah untuk terakhir kalinya, satu kali inii saja tak usah turut campur dalam urusan jodohnya. Sudah cukup kami saja menjadi korban Ayah yang selalu saja merecoki urusan jodoh dan rumah tagga kami!” Bang Roy berkata tegas.
“ Dan buktinya kalian bahagia bukan? Jodoh pilihan kalian yang Ayah restui, semuanya mampu membahagiakan kalian, kan?” Ayah bertanya kepada saudara-saudaraku, mereka terdiam.
Ayah memang sosok yang keras. Namun aku tetap harus memperjuangkan cintaku. Apapun yang terjadi. Pilihanku sudah pasti!
“ Terserah Ayah, setuju atau tidak, Olin akan tetap menikah sama bang Rian!”
Ayah terlihat terengah menahan amarah, “ Baiklah, terserah kamu! Pokoknya, sampai kapanpun Ayah tidak akan merestui hubungan kalian!”
Itulah kalimat terakhir yang ku dengar saat pagi kemudian berubah mejadi siang yang begitu teriknya menuju senjanya yang teramat muram. Ayah.. Pria yang kini semakin senja dan renta, saat itu teramat marah kepadaku yag memutuskan untuk tetap menikah dengan pria pilihanku. Bertahun-tahun aku terjebak dalam perang dingin ditengah senja yang semakin temaram. Hingga akhirnya kusadari, bahwa Ayah benar..
Perkataannya benar! Pria pilihanku, tak lebih dari sekadar manusia manja yang tak pernah mampu menghormati siapapun! Bukan hanya Ayah, aku, dan para saudaraku, bahkan orang tuanya sendiripun tak pernah mampu ia hargai!
Sesal itu datang terlambat.. Sosok yag senantiasa menghadirkan kebahagiaan sehangat mentari pagi, seindah pelangi setelah rinai hujan itu kini telah senja. Senja yang tampak hampa. Kosong..
Akan tetapi, menjelang malam menutupkan kedua matanya, secercah cahay bintang tampak berkilau di kedua matanya yang semakin rapuh. Bintang yang sanggup membawa ketegaran kedalam hatiku. Bintang yang menjadi kenangan terahir darinya untukku..
***
“ Ayah tak pernah benar-benar sanggup untuk memarahimu nak..” Ayah berkata sambil mengelus rambutku yang masih menangis tersedu-sedu karena merasa bersalah kepada ayah akibatnilai Matematikaku yang jeblok akibat keasyikan bermain video game semalam.
“ Ma.. Maaf ayah.. Olin gak akan mengulanginya lagi.. Maaf..”
Ayah hanya tersenyum lembut seraya merengkuhku ke dalam pelukannya. Hangat.. Nyaman.. Dialah Ayah.. Senyuman dan pelukannya sehangat cahaya mentari dipagi hari serta seindah pelangi memang selalu sanggup mengusir gundah didalam hatiku.. Bahkan, saat gelap membayangi raut wajahnya yang terlihat teduh menikmati tidur abadinya, senyum itu belum sirna. Guratnya masih tergambar jelas.. Bedanya, senyum itu justru mengundang duka dalam hatiku. Senyum yang segera menghilang ditelan bumi. Melebur bersama tanahNya, menuju pelukanNya, dalam keabadian.
Tamat.
senja dibelakang rumahkuu..^~^

2 komentar:

  1. saya suka tulisan ini... ada dua tema yang saya tangkap, senja itu sendiri dan sosok ayah.. dua hal yang sudah dan akan saya jalani...:) tapi memang ya mbak, faktanya kaum lansia masih sering didiskriminasikan dan dianggap beban... saya sudh lihat sendiri waktu beberapa kali berkunjung ke panti jopmpo / panti werdha.... generasi muda harus lebih peduli karena mereka pun kelak akan menjadi tua juga #ups jadi pidato gini.. aniwei like this short story

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehee.. Pidato singkatnya cukup mengingatkan saya akan siklus kehidupan yang sanggup merubah posisi kita dari yang berperan 'mengurus' menjadi 'yang diurus'..
      Terimakasih atas kunjungannya ya Pak.. Semoga dapat menjadi sosok ayah kebanggaan dan kesayangan keluarga..
      ^_^

      Hapus

 

aQ & pikiranQ © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor