Aku
terbiasa hidup tanpa ekspresi. Pun saat ibuku menangis didepan mata kepalaku
sendiri, menceritakan betapa kecewanya ia akan kehidupannya bersama ayah selama
ini, aku tetap diam. Tak bergeming. Tak segaris senyumpun terukir diwajahku.
Bahkan tak satu tetes air matapun menyentuh pipiku saat itu.
Namun,
hari ini aku terpaksa mengeluarkan ekspresi diwajahku. Senyuman dan tangisan
melebur menjadi satu. Dua ekspresi yang sudah lebih dari cukup untuk
menggambarkan apa yang kurasakan selama 30 tahun kehidupanku dimuka bumi ini.
***
“
Lelaki sialan! Memangnya aku ini wanita murahan yang dapat dibeli dengan harga
murah apa? Seharusnya dia ngaca donk! Tampang kayak tong sampah gitu, pede
banget ngelamar aku dengan sejuta janji yang terbukti kosong melompong!” Asap
rokok tampak mengepul di udara setiap kali ibu membuka bibirnya untuk
menggerutu. Kegiatan rutin setiap hari, dari pagi hingga menjelang malam. Dan
biasanya ibu hanya akan berhenti ketika Ayah telah pulang.
Sementara
aku, hanya diam. Terpojok disudut tersepi dimuka bumi ini. Menikmati adegan
pertengkaran mereka berdua, yang tak jarang berakhir dengan adu fisik antara
Ayah dan Ibu. Endingnya sudah dapat ditebak. Ibu, wanita matre itu akan berlari
memelukku sambil menangis dengan bekas lebam disalah satu sudut matanya, bercak
darah disalah satu sudut bibirnya, bahkan luka berdarah dikeningnya.
Betul-betul tontonan yang amat membosankan.
Akan
tetapi, hanya ini satu-satunya hiburanku! Walaupun aku menyaksikannya tanpa
ekspresi sama sekali. Hanya ekspresi ceria boneka beruang yang selalu ku
tenteng di tangan kananku yang mampu mewarnai suasana hari-hariku yang buram,
muram, abu-abu, hambar, dan datar!
***
“
Wanita murahan!!! Berani-beraninya ia pergi meninggalkanku??? Sebenarnya
salahku dimana??” Ayah terlihat menggerutu, geram.
Sesuai
tebakanku, ibu, wanita penggila harta itu ahirnya pergi bersama seorang paman
(atau lebih tepatnya abang) yang biasa terlihat datang kerumah kami setiap ayah
tak ada. Pria yang jauh lebih muda dari ibuku, namun memiliki harta yang
sedikit lebih banyak dibandingkan ayahku! Pria yang sama sekali tak punya adab
dan sopan santun, karena ia dapat dengan santainya masuk kekamar ibuku tanpa
seijinku maupun ayahku!
Pria
yang belakangan ku ketahui bernama ‘Cinta’, setidaknya begitulah ibu
memanggilnya. Baik saat mereka bertemu langsung, maupun saat mereka bersua
melalui saluran telpon.
Ayah
masih tampak uring-uringan. Tontonan biasa yang telah menjadi makanan
sehari-hariku. Basi!!! Akan tetapi ada tontonan baru hari ini. Ayah mendadak
menangis! Sungguh merupakan hal terlangka yang kemungkinan hanya terjadi sekali
dalam seumur hidupku. Akupun berusaha fokus memperhatikan ayah yang tengah menangis
tersedu-sedu di atas meja makan.
Entah
berapa lama pemandangan ayah menangis tersedu-sedu diatas meja itu bertahan.
Seingatku, mungkin kisaran tiga hari ayah masih bertahan. Hingga mendadak, pada
suatu hari ayah menghampiriku. Beliau memaki dan menghajar wajahku. Bahkan ayah
menendang perutku yang keroncongan luar biasa akibat tiga hari tak terisi
apapun, bahkan setetes air putihpun tak masuk selama ayah menangis.
Dan
apa yang terjadi padaku, aku tetap diam. Aku tidak menangis, aku tidak
menjerit, aku juga tidak mengeluh. Semua kuterima begitu saja. Anggap saja jeda
iklan sebelum pertunjukan kisah hidup dramatis ayah kembali berputar
dihadapanku.
Ya.
Aku tetap diam. Tetap terdiam, meringkuk, memeluk lutut dan boneka beruangku,
disudut tergelap dimuka bumi ini. Entah kenapa, otak ku sama sekali tak pernah
memerintahkan wajahku untuk membentuk ekspresi-ekspresi tertentu untuk
mengungkapkan apapun yang kurasakan. Otakku yang kosong, atau mungkin memang
hatiku sama sekali tak merasakan apapun? Mungkin akibat terbiasa dengan
hambarnya kehidupan yang kurasakan, maka lambat laun akupun mulai melupakan
seperti apa dan bagaimana caranya untuk tersenyum atau menangis. Entahlah..
Semuanya hanya sebatas mungkin…
Kembali,
aku meringkuk. Boneka beruangku tersenyum ceria. Seperti biasa…
***
Ibu
kembali. Ibu begitu cantiknya. Aku hampir tak mengenalinya. Mungkin inilah
sosok asli ibuku yang memang seorang aktris drama kehidupan yang terjadi setiap
hari disini, dihadapanku. Ibu tampak sedikit angkuh, ia tersenyum merendahkan
kearahku.
“
Masih idup lo?? Tuh muka berantakan amat???”
Aku
diam saja. Sungguh pertunjukan yang amat luar biasa. Dimana pemerannya sanggup
berkomunikasi dengan penontonnya. Kemampuan berakting ibuku telah meningkat
rupanya. Ternyata kepergiannya selama ini bersama pria muda bernama ‘Cinta’ itu
telah menempa bakat bermain perannya menjadi semakin baik dari sebelumnya.
Mendadak
nuansa horror mengiringi setingan drama ibuku kali ini. Rupanya Ayah telah
berdiri dibelakang punggung ibu. Ia terlihat terengah menahan amarah. Bakat
bermain peran Ayah juga sudah semakin meningkat. Ia tak ingin kalah dari ibu
rupanya.
“
Mau ngapain kamu kesini?” Ayah bertanya, terdengar garang dan cukup
menyeramkan.
Ibu
tampak mengangkat dagunya, dengan sombong ia berkata, “ Mau ngapain juga, ya
terserah aku dong! Bukan urusan kamu. Toh kamu bukan suami aku lagi.”
Ayah
terlihat semakin berang. Ia membanting kursi plastik dihadapannya dengan kasar
seraya membentak ibu keras.
“
Keluar kau wanita murahan! Tak sudi aku melihatmu disini! Pergi!!”
Ibu
menatap ayah penuh amarah.
“
Tak perlu kau usirpun aku sudah akan pergi! Lagipula, urusanku disini juga sudah
beres. Dan jangan kau pikir perutku tidak mual melihat tampang pria miskin
pengangguran sepertimu!”
Ayah
terlihat semakin emosi, namun ia juga terlihat menahan diri. Hmm.. Kurang seru!
Seharusnya, jika aku yang menjadi sutradara kisah ini, aku akan meminta ayah
untuk menampar, atau setidaknya menjambak rambut ibu yang telah berkata kasar
padanya. Eh! Tapi bukankah ayah duluan yang berkata kasar kepada ibuku???
Entahlah..
Yang jelas, kali ini pertunjukan yang ku tonton kurang seru! Endingnya kurang
dramatis dan dama sekali tak mencapai klimaks yang kuharapkan. Aku benci! Aku
benci akhir yang seperti ini!!!
***
Siang
ini ayah tersenyum riang. Siulan tak henti-hentinya keluar dari bibirnya.
Sedang berbahagiakah ayahku saat ini. Jawabannya, iya! Dan apa yang membuat
ayah mendadak berwajah sumringah cerah ceria seperti saat ini? Jawabannya datang
15 menit kemudian, saat mendadak pintu rumah kami diketuk secara perlahan. Dan
dari suara sang pengetuk pintu, sudah dapat dipastikan bahwa tamu kami itu
berjenis kelamin wanita. Ibu? Bukan.. Jelas bukan.
Ayah
segera keluar membuka pintu. Angin yang datang bersamaan dengan terbukanya
pintupun membawa semerbak aroma wewangian yang menurutku lumayan menyengat!
Wanita seperti apa yang mau memakai parfum senorak ini?
Langkah
kaki terdengar mendekat. Langkah kaki milik ayah dan tamu istimewanya yang saat
ini telah menatap dalam kearah mataku.
“
Jadi, ini anakmu? Cantik juga. Ga mirip sama kamu tuh…” Wanita itu berkata
sambil menatapku dengan tatapan teramat sinis.
“
Hahahaa.. Waktu muda aku ganteng juga kok. Ini jadi kaya gini juga karena
factor usia dan kebiasaanku bekerja keras demi menghidupi anak dan istriku.”
Ayah berkata sambil menatap aneh kearah wanita sinis tersebut, wanita itupun
segera menghampirinya.
Hmm..
Pemeran baru ternyata. Yaah.. Layaknya sinetron yang biasa di tonton ibu setiap
sore menjelang malam, dimana mendadak salah satu pemeran utamanya menghilang
dan digantikan oleh pemeran utama yang baru, begitu pula halnya dengan
pertunjukan sandiwara yang sehari-hari ku tonton ini. Akibat ibu yang mendadak
menghilang, maka peran ibu sebagai pemeran utama wanitapun diambil alih oleh
wanita yang belakangan ku ketahui bernama tante Siska ini.
Tampaknya,
ayah begitu mencintai wanita ini. Ayah biasa mencumbunya, memeluknya, atau
mengajaknya tidur dikamarnya. Padahal, mereka belum menikah! Inilah dunia
sandiwara, dimana segalanya dapat dilakukan tanpa peduli akan larangan dan
norma yang berlaku! Ayah semakin bahagia…
Lain
halnya dengan diriku yang semakin lama semakin bosan dengan tontonan kemesraan
ayah dengan tante Siska. Belum lagi kebiasaan tante Siska yang suka memarahiku
dan menggunting rambutku hingga gundul dan tak bersisa lagi. Dari kata-katanya,
aku menyadari betapa ia membenci wajahku yang lebih cantik darinya! Aku kecewa.
Sebagai penonton aku benar-benar merasa tak dihargai!
Rambutku!
Rambut kesayangan ibuku! Kebanggaan ayahku! Aku marah! Namun, aku sama sekali
tak mampu menunjukkannya. Boneka beruang lusuhku masih tersenyum ceria.
Sementara aku, datar-datar saja… Tapi hatiku sudah mulai merasa.
***
Dulu
kami pernah tersenyum bersama. Dulu sekali, ayah dan ibu pernah menatapku penuh
rasa bangga dan bahagia. Begitu pula diriku. Aku pernah tersenyum untuk mereka.
Dulu sekali.
“
Selamat ya sayang.. Ibu bangga sekali sama kamu nak..” Ibu berkata seraya
memelukku erat.
“
Iya nak.. Ayah juga bangga. Terus berusaha ya.. Tingkatkan prestasi kamu ya
nak..” Kali ini ayah yang memujiku, sambil membelai lembut rambutku.
“
Iya.. Pasti Yah, Bu..” Aku memeluk ibu semakin erat.
Dulu
sekali, jauh dimasa lampau, aku adalah seorang pemeran, bukan sekadar penonton.
Aku turut memiliki andil dalam pertunjukan kisah kehidupan ayah dan ibu. Sebuah
pertunjukan penuh cinta dan kasih sayang. Hingga mendadak aku tersingkirkan.
Semua hanya dikarenakan sebuah kecelakaan yang merenggut segalanya dariku.
Kecelakaan yang merenggut suaraku, langkahku, pikiranku, dan ekspresiku.
Kecelakaan yang menjadi akhir dari kebahagiaanku bersama ayah dan ibuku.
Kecelakaan yang menjadi awal dari segala penderitaan yang menyakitkan bagiku.
Dulu
sekali, aku pernah merasakan cinta diantara mereka. Dulu sekali, saat menjuarai
berbagai macam perlombaan, kedua orang tuaku pernah tersenyum untukku. Tapi,
kini mereka tak pernah tersenyum untukku. Mereka teramat menderita! Dan itu
semua karena ku! Ya.. Aku yang telah membuat mereka menderita… Aku yang telah
menyedot habis senyuman mereka, dan menyimpannya didalam boneka beruang lusuhku
ini!
Kini,
sudah saatnya aku mengembalikan kebahagiaan mereka! Sudah saatnya aku
mengembalikan senyuman mereka!!
Boneka
beruangkupun masih tersenyum, meskipun tubuhnya telah tercerai berai tak
beraturan…
***
Aku
terbiasa hidup tanpa ekspresi. Aku terbiasa hidup menjadi penonton yang selalu
setia menyaksikan pertunjukan drama kehidupan orang lain disekitarku. Namun
kini, aku merasa aku harus berubah! Dan aku benar-benar berubah!
Aku
bukan lagi seorang penonton belaka. Aku adalah pemeran utama yang menyusul tampil
belakangan. Aku berperan sebagai seorang pahlawan yang memang selalu muncul
belakangan. Dan aku bukan lagi sosok yang berdiri tanpa ekspresi. Kali ini aku
tersenyum bahagia…
Sebuah
senyuman yang diselingi air mata. Aku berdiri tegak. Wajah datarku sungguh
lenyap tak bersisa. Aku benar-benar seorang aktris professional.
Senyum
itu semakin lebar. Kala ku tatap ayah bersama kekasihnya tengah tertidur lelap.
Mereka tampak tersenyum bahagia. Begitu tenangnya. Mungkin karena mereka amat
gembira kala mengetahui aku akan turut menjadi tokoh dalam lakon kehidupan
mereka.
Meta
mereka masih tertutup rapat. Aku berhasil membuat mereka bahagia. Kini mereka
bebas.. Lepas. Saatnya aku melakukan hal yang sama kepada ibuku. Ibu juga
berhak bahagia! Beliau adalah sosok yang telah bersusah payah melahirkanku.
Sungguh konyol dan sangat tidak adil jika aku tidak membahagiakannya
sebagaimana aku membahagiakan ayahku.
Ku
seret langkahku menuju rumah baru ibuku yang berjarak kurang lebih 700 meter
dari rumah kami. Disudut terhening dimuka bumi ini, dimana aku biasa duduk
sebagai penonton, telah terisi penonton lain yang tampak bahagia menyaksikan
aktingku.
Ya..
Dia boneka beruangku. Yang meskipun tubuhnya berantakan tak karuan, namun masih
tetap tersenyum riang. Ia tampak begitu bahagia. Seperti diriku yang tak kalah
bahagianya. Kubiarkan boneka beruangku tetap disana. Menyaksikan Ayah dan tante
Siska yang terlelap panjang, untuk selamanya.
Dan
disana, disebagian potongan tubuh boneka beruangku, tampak cairan berwarna
merah cerah menempel, mengering. Darah ayah dan tante Siska
***
Sumber Gambar |
hmmm... *tarik nafas panjang*
BalasHapussebuah cerita yang....
Yang apa??
HapusHayoo dunk.. Kritik dan saran guna perbaikannya saya nanti loch..
:)