Selasa, 05 Maret 2013

Tanpa Ekspresi


Aku terbiasa hidup tanpa ekspresi. Pun saat ibuku menangis didepan mata kepalaku sendiri, menceritakan betapa kecewanya ia akan kehidupannya bersama ayah selama ini, aku tetap diam. Tak bergeming. Tak segaris senyumpun terukir diwajahku. Bahkan tak satu tetes air matapun menyentuh pipiku saat itu.
Namun, hari ini aku terpaksa mengeluarkan ekspresi diwajahku. Senyuman dan tangisan melebur menjadi satu. Dua ekspresi yang sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan apa yang kurasakan selama 30 tahun kehidupanku dimuka bumi ini.
***

“ Lelaki sialan! Memangnya aku ini wanita murahan yang dapat dibeli dengan harga murah apa? Seharusnya dia ngaca donk! Tampang kayak tong sampah gitu, pede banget ngelamar aku dengan sejuta janji yang terbukti kosong melompong!” Asap rokok tampak mengepul di udara setiap kali ibu membuka bibirnya untuk menggerutu. Kegiatan rutin setiap hari, dari pagi hingga menjelang malam. Dan biasanya ibu hanya akan berhenti ketika Ayah telah pulang.
Sementara aku, hanya diam. Terpojok disudut tersepi dimuka bumi ini. Menikmati adegan pertengkaran mereka berdua, yang tak jarang berakhir dengan adu fisik antara Ayah dan Ibu. Endingnya sudah dapat ditebak. Ibu, wanita matre itu akan berlari memelukku sambil menangis dengan bekas lebam disalah satu sudut matanya, bercak darah disalah satu sudut bibirnya, bahkan luka berdarah dikeningnya. Betul-betul tontonan yang amat membosankan.
Akan tetapi, hanya ini satu-satunya hiburanku! Walaupun aku menyaksikannya tanpa ekspresi sama sekali. Hanya ekspresi ceria boneka beruang yang selalu ku tenteng di tangan kananku yang mampu mewarnai suasana hari-hariku yang buram, muram, abu-abu, hambar, dan datar!
***
“ Wanita murahan!!! Berani-beraninya ia pergi meninggalkanku??? Sebenarnya salahku dimana??” Ayah terlihat menggerutu, geram.
Sesuai tebakanku, ibu, wanita penggila harta itu ahirnya pergi bersama seorang paman (atau lebih tepatnya abang) yang biasa terlihat datang kerumah kami setiap ayah tak ada. Pria yang jauh lebih muda dari ibuku, namun memiliki harta yang sedikit lebih banyak dibandingkan ayahku! Pria yang sama sekali tak punya adab dan sopan santun, karena ia dapat dengan santainya masuk kekamar ibuku tanpa seijinku maupun ayahku!
Pria yang belakangan ku ketahui bernama ‘Cinta’, setidaknya begitulah ibu memanggilnya. Baik saat mereka bertemu langsung, maupun saat mereka bersua melalui saluran telpon.
Ayah masih tampak uring-uringan. Tontonan biasa yang telah menjadi makanan sehari-hariku. Basi!!! Akan tetapi ada tontonan baru hari ini. Ayah mendadak menangis! Sungguh merupakan hal terlangka yang kemungkinan hanya terjadi sekali dalam seumur hidupku. Akupun berusaha fokus memperhatikan ayah yang tengah menangis tersedu-sedu di atas meja makan.
Entah berapa lama pemandangan ayah menangis tersedu-sedu diatas meja itu bertahan. Seingatku, mungkin kisaran tiga hari ayah masih bertahan. Hingga mendadak, pada suatu hari ayah menghampiriku. Beliau memaki dan menghajar wajahku. Bahkan ayah menendang perutku yang keroncongan luar biasa akibat tiga hari tak terisi apapun, bahkan setetes air putihpun tak masuk selama ayah menangis.
Dan apa yang terjadi padaku, aku tetap diam. Aku tidak menangis, aku tidak menjerit, aku juga tidak mengeluh. Semua kuterima begitu saja. Anggap saja jeda iklan sebelum pertunjukan kisah hidup dramatis ayah kembali berputar dihadapanku.
Ya. Aku tetap diam. Tetap terdiam, meringkuk, memeluk lutut dan boneka beruangku, disudut tergelap dimuka bumi ini. Entah kenapa, otak ku sama sekali tak pernah memerintahkan wajahku untuk membentuk ekspresi-ekspresi tertentu untuk mengungkapkan apapun yang kurasakan. Otakku yang kosong, atau mungkin memang hatiku sama sekali tak merasakan apapun? Mungkin akibat terbiasa dengan hambarnya kehidupan yang kurasakan, maka lambat laun akupun mulai melupakan seperti apa dan bagaimana caranya untuk tersenyum atau menangis. Entahlah.. Semuanya hanya sebatas mungkin…
Kembali, aku meringkuk. Boneka beruangku tersenyum ceria. Seperti biasa…
***
Ibu kembali. Ibu begitu cantiknya. Aku hampir tak mengenalinya. Mungkin inilah sosok asli ibuku yang memang seorang aktris drama kehidupan yang terjadi setiap hari disini, dihadapanku. Ibu tampak sedikit angkuh, ia tersenyum merendahkan kearahku.
“ Masih idup lo?? Tuh muka berantakan amat???”
Aku diam saja. Sungguh pertunjukan yang amat luar biasa. Dimana pemerannya sanggup berkomunikasi dengan penontonnya. Kemampuan berakting ibuku telah meningkat rupanya. Ternyata kepergiannya selama ini bersama pria muda bernama ‘Cinta’ itu telah menempa bakat bermain perannya menjadi semakin baik dari sebelumnya.
Mendadak nuansa horror mengiringi setingan drama ibuku kali ini. Rupanya Ayah telah berdiri dibelakang punggung ibu. Ia terlihat terengah menahan amarah. Bakat bermain peran Ayah juga sudah semakin meningkat. Ia tak ingin kalah dari ibu rupanya.
“ Mau ngapain kamu kesini?” Ayah bertanya, terdengar garang dan cukup menyeramkan.
Ibu tampak mengangkat dagunya, dengan sombong ia berkata, “ Mau ngapain juga, ya terserah aku dong! Bukan urusan kamu. Toh kamu bukan suami aku lagi.”
Ayah terlihat semakin berang. Ia membanting kursi plastik dihadapannya dengan kasar seraya membentak ibu keras.
“ Keluar kau wanita murahan! Tak sudi aku melihatmu disini! Pergi!!”
Ibu menatap ayah penuh amarah.
“ Tak perlu kau usirpun aku sudah akan pergi! Lagipula, urusanku disini juga sudah beres. Dan jangan kau pikir perutku tidak mual melihat tampang pria miskin pengangguran sepertimu!”
Ayah terlihat semakin emosi, namun ia juga terlihat menahan diri. Hmm.. Kurang seru! Seharusnya, jika aku yang menjadi sutradara kisah ini, aku akan meminta ayah untuk menampar, atau setidaknya menjambak rambut ibu yang telah berkata kasar padanya. Eh! Tapi bukankah ayah duluan yang berkata kasar kepada ibuku???
Entahlah.. Yang jelas, kali ini pertunjukan yang ku tonton kurang seru! Endingnya kurang dramatis dan dama sekali tak mencapai klimaks yang kuharapkan. Aku benci! Aku benci akhir yang seperti ini!!!
***
Siang ini ayah tersenyum riang. Siulan tak henti-hentinya keluar dari bibirnya. Sedang berbahagiakah ayahku saat ini. Jawabannya, iya! Dan apa yang membuat ayah mendadak berwajah sumringah cerah ceria seperti saat ini? Jawabannya datang 15 menit kemudian, saat mendadak pintu rumah kami diketuk secara perlahan. Dan dari suara sang pengetuk pintu, sudah dapat dipastikan bahwa tamu kami itu berjenis kelamin wanita. Ibu? Bukan.. Jelas bukan.
Ayah segera keluar membuka pintu. Angin yang datang bersamaan dengan terbukanya pintupun membawa semerbak aroma wewangian yang menurutku lumayan menyengat! Wanita seperti apa yang mau memakai parfum senorak ini?
Langkah kaki terdengar mendekat. Langkah kaki milik ayah dan tamu istimewanya yang saat ini telah menatap dalam kearah mataku.
“ Jadi, ini anakmu? Cantik juga. Ga mirip sama kamu tuh…” Wanita itu berkata sambil menatapku dengan tatapan teramat sinis.
“ Hahahaa.. Waktu muda aku ganteng juga kok. Ini jadi kaya gini juga karena factor usia dan kebiasaanku bekerja keras demi menghidupi anak dan istriku.” Ayah berkata sambil menatap aneh kearah wanita sinis tersebut, wanita itupun segera menghampirinya.
Hmm.. Pemeran baru ternyata. Yaah.. Layaknya sinetron yang biasa di tonton ibu setiap sore menjelang malam, dimana mendadak salah satu pemeran utamanya menghilang dan digantikan oleh pemeran utama yang baru, begitu pula halnya dengan pertunjukan sandiwara yang sehari-hari ku tonton ini. Akibat ibu yang mendadak menghilang, maka peran ibu sebagai pemeran utama wanitapun diambil alih oleh wanita yang belakangan ku ketahui bernama tante Siska ini.
Tampaknya, ayah begitu mencintai wanita ini. Ayah biasa mencumbunya, memeluknya, atau mengajaknya tidur dikamarnya. Padahal, mereka belum menikah! Inilah dunia sandiwara, dimana segalanya dapat dilakukan tanpa peduli akan larangan dan norma yang berlaku! Ayah semakin bahagia…
Lain halnya dengan diriku yang semakin lama semakin bosan dengan tontonan kemesraan ayah dengan tante Siska. Belum lagi kebiasaan tante Siska yang suka memarahiku dan menggunting rambutku hingga gundul dan tak bersisa lagi. Dari kata-katanya, aku menyadari betapa ia membenci wajahku yang lebih cantik darinya! Aku kecewa. Sebagai penonton aku benar-benar merasa tak dihargai!
Rambutku! Rambut kesayangan ibuku! Kebanggaan ayahku! Aku marah! Namun, aku sama sekali tak mampu menunjukkannya. Boneka beruang lusuhku masih tersenyum ceria. Sementara aku, datar-datar saja… Tapi hatiku sudah mulai merasa.
***
Dulu kami pernah tersenyum bersama. Dulu sekali, ayah dan ibu pernah menatapku penuh rasa bangga dan bahagia. Begitu pula diriku. Aku pernah tersenyum untuk mereka. Dulu sekali.
“ Selamat ya sayang.. Ibu bangga sekali sama kamu nak..” Ibu berkata seraya memelukku erat.
“ Iya nak.. Ayah juga bangga. Terus berusaha ya.. Tingkatkan prestasi kamu ya nak..” Kali ini ayah yang memujiku, sambil membelai lembut rambutku.
“ Iya.. Pasti Yah, Bu..” Aku memeluk ibu semakin erat.
Dulu sekali, jauh dimasa lampau, aku adalah seorang pemeran, bukan sekadar penonton. Aku turut memiliki andil dalam pertunjukan kisah kehidupan ayah dan ibu. Sebuah pertunjukan penuh cinta dan kasih sayang. Hingga mendadak aku tersingkirkan. Semua hanya dikarenakan sebuah kecelakaan yang merenggut segalanya dariku. Kecelakaan yang merenggut suaraku, langkahku, pikiranku, dan ekspresiku. Kecelakaan yang menjadi akhir dari kebahagiaanku bersama ayah dan ibuku. Kecelakaan yang menjadi awal dari segala penderitaan yang menyakitkan bagiku.
Dulu sekali, aku pernah merasakan cinta diantara mereka. Dulu sekali, saat menjuarai berbagai macam perlombaan, kedua orang tuaku pernah tersenyum untukku. Tapi, kini mereka tak pernah tersenyum untukku. Mereka teramat menderita! Dan itu semua karena ku! Ya.. Aku yang telah membuat mereka menderita… Aku yang telah menyedot habis senyuman mereka, dan menyimpannya didalam boneka beruang lusuhku ini!
Kini, sudah saatnya aku mengembalikan kebahagiaan mereka! Sudah saatnya aku mengembalikan senyuman mereka!!
Boneka beruangkupun masih tersenyum, meskipun tubuhnya telah tercerai berai tak beraturan…
***
Aku terbiasa hidup tanpa ekspresi. Aku terbiasa hidup menjadi penonton yang selalu setia menyaksikan pertunjukan drama kehidupan orang lain disekitarku. Namun kini, aku merasa aku harus berubah! Dan aku benar-benar berubah!
Aku bukan lagi seorang penonton belaka. Aku adalah pemeran utama yang menyusul tampil belakangan. Aku berperan sebagai seorang pahlawan yang memang selalu muncul belakangan. Dan aku bukan lagi sosok yang berdiri tanpa ekspresi. Kali ini aku tersenyum bahagia…
Sebuah senyuman yang diselingi air mata. Aku berdiri tegak. Wajah datarku sungguh lenyap tak bersisa. Aku benar-benar seorang aktris professional.
Senyum itu semakin lebar. Kala ku tatap ayah bersama kekasihnya tengah tertidur lelap. Mereka tampak tersenyum bahagia. Begitu tenangnya. Mungkin karena mereka amat gembira kala mengetahui aku akan turut menjadi tokoh dalam lakon kehidupan mereka.
Meta mereka masih tertutup rapat. Aku berhasil membuat mereka bahagia. Kini mereka bebas.. Lepas. Saatnya aku melakukan hal yang sama kepada ibuku. Ibu juga berhak bahagia! Beliau adalah sosok yang telah bersusah payah melahirkanku. Sungguh konyol dan sangat tidak adil jika aku tidak membahagiakannya sebagaimana aku membahagiakan ayahku.
Ku seret langkahku menuju rumah baru ibuku yang berjarak kurang lebih 700 meter dari rumah kami. Disudut terhening dimuka bumi ini, dimana aku biasa duduk sebagai penonton, telah terisi penonton lain yang tampak bahagia menyaksikan aktingku.
Ya.. Dia boneka beruangku. Yang meskipun tubuhnya berantakan tak karuan, namun masih tetap tersenyum riang. Ia tampak begitu bahagia. Seperti diriku yang tak kalah bahagianya. Kubiarkan boneka beruangku tetap disana. Menyaksikan Ayah dan tante Siska yang terlelap panjang, untuk selamanya.
Dan disana, disebagian potongan tubuh boneka beruangku, tampak cairan berwarna merah cerah menempel, mengering. Darah ayah dan tante Siska
*** 
Sumber Gambar

2 komentar:

  1. hmmm... *tarik nafas panjang*
    sebuah cerita yang....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang apa??
      Hayoo dunk.. Kritik dan saran guna perbaikannya saya nanti loch..
      :)

      Hapus

 

aQ & pikiranQ © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor