Kamis, 05 Januari 2012

Bayangan dalam Pekat

sumber

Siang itu terlalu pekat. Sangat pekat. Amat pekat. Meskipun sang matahari bersinar dengan sangat garangnya diluar sana. Kaca jendela itu hampir retak. Namun aku tetap menatapnya. Menerawang keluar sana. Kosong. Meskipun diluar sana terlihat beberapa manusia lalu lalang.

Pekat.. Namun entah kenapa mereka yang lalu lalang itu terlihat mengelus dahi.. Mencoba menghapus jejak peluh. Atau mungkin mereka tak peka terhadap pekat yang kurasa?

Kosong.. Meskipun banyak manusia yang mondar-mandir itu silih berganti disana. Semuanya terasa kosong bagiku.. Pun ketika sebuah motor bersuara bising melintas di luar sana. Debu seketika membumbung tinggi. Membuat beberapa manusia yang lalu lalang itu tampak terbatuk-batuk.. Mata mereka merah. Menahan amarah!
Ia berjalan.. Menghampiriku didalam pekat…


“ Heh!!” Sapanya kasar.

Aku diam. Kuku-kuku tanganku menggores kasar dikaca jendela tersebut. Menimbulkan suara decitan yang membuat ngilu sederetan gigiku yang telah menghilang beberapa.

Ia beranjak menjauh dibalik pekat. Entah sejak kapan kami bersama. Ia beringsut perlahan. Menjauhiku yang masih menerawang, menatap kosong keluar sana.

“Kau..” Ujarnya perlahan.

Aku menatap keluar. Lebih jauh lagi. Tampak sederetan atap rumah yang terlihat silau karena atap itu tersusun dari beberapa seng yang tertata tak beraturan. Sebagian mulai berkarat. Terkesan padat. Tiba-tiba terdengar pintu depan rumahku terbuka. Aku tersentak!

“ Aku pulang.” Gumamnya perlahan.

Aku diam. Dia hanya berlalu.. Meninggalkan aroma khasnya yang telah kukenal sejak dulu.

“Aku lapar.” Gumamnya kembali.

Aku bergegas menuju dapur. Menyiapkan beberapa perlengkapan makan bagi pria beraroma khas itu. Menuangkan beberapa sendok nasi kedalam piring, menyiapkan segelas air putih dalam sebuah gelas besi yang telah robek pada beberapa bagian dipinggir bibirnya, dan duduk manis, terdiam menunggunya selesai dan menghabiskan nasi beserta dua potong tempe goreng yang telah ku sisakan untuknya semenjak kemarin siang.

“ Kau sudah makan?” Dia bertanya.

Aku mengangguk. Dia beranjak, berdiri. Aku tak perlu bertanya kemana dia hendak pergi. Yang ku tahu, dia pasti akan kembali lagi dalam waktu duahari kedepan.
Pekat kembali menghampiri.

“ Apa dia pergi lagi?” Ia kembali datang bersama pekat dan bertanya.

Aku diam. Membereskan sisa-sisa makan pria beraroma khas itu yang telah tak tampak lagi ujung bayangannya. Dalam diam, dalam pekat aku mencari arah. Kembali pada posisiku semula di balik jendela usang itu. Menatap kosong.
Ibu.. Mendadak istilah itu melintas dikepalaku.

“Apa dia pergi lagi?” Ia bertanya.

Pekat. Teringat sosok yang tampak lembut namun luar biasa tegarnya. Sosok yang selalu membelai kepalaku disaat kuragu. Apakah itu ibu?

“ Apa dia pergi lagi?” Ia menambah pekatku. Aku menoleh. Diam.. Kosong..

Wanita tua itu menatap memohon kepadaku. Aku mengerti arti tatapan itu. Tatapan yang mengatakan dengan sangat gambling sebuah kalimat: JANGAN PERGI!
Aku mendengus kesal! APA URUSANMU!! INI HIDUPKU!! BIAR AKU YANG MENENTUKANNYA! Wanita itu meraih pergelangan tangan kananku. JANGAN PERGI ANAKKU!! Aku menepis tang keriput itu dengan sekali sentakan.

“Apa yang kau pikirkan?” Ia kembali bertanya. Pekat kembali menyerang.

Mendadak terdengar hardikan seorang pria yang sangat kukenal. Hardikan yang selalu kudengar ketika aku pulang bermain kesorean disaat aku kecil dulu. Hardikan yang selalu kudengar disaat ibuku salah memberikannya baju. Nada keras yang selalu kudengar hampir disetiap hari disepanjang hidupku dimuka bumi ini saat pria itu berada diantara aku, ibu, dan kedua abangku.
PERGI SAJA!! KAU BUKAN ANAKKU!!! Wanita itu menjerit histeris. Kedua abangku berdiri diam mematung. Tak peduli akan drama yang terjadi antara aku, ayah dan ibuku. Aku menatap nanar kearah pria berusia hampir 60 tahun itu. IYA!! AKU AKAN PERGI! Wanita itu, ibu, menangis semakin menjadi. Dengan suara terbata, ia berteriak melarangku pergi. Aku berlari! Berbalik sejenak dan berteriak, DIA PRIA PILIHANKU!! APA PEDULIMU ATAS HIDUPKU!!!

“Kau terdiam..” Ia bergumam dalam pekat.

Diluar sana awan dilangit berkumpul, membentuk sesuatu serupa panci. Silau namun tetap pekat.

“Kumohon dengarkan aku..” Ia bergumam disampingku.

Awan itu beranjak. Menjauh meninggalkanku dalam pekat. Awan baru datang kembali. Kali ini bentuknya abstrak. Aneh.. Namun sedikit aku menangkap rupanya yang hampir seperti kelinci! Sebuah boneka kelinci.. Yang mengingatkanku akan istilah: IBU!

Dalam pekat ia menghampiriku dan bertanya.
“Kenapa  dia tak pergi saja darihidupmu?Apa yang kau harapkan dari pria itu?”
Aku diam. Menarik nafas dan menghembuskannya. Berat.. Pekat.. Ia kembali bertanya dalam kalimat yang sama dan makna serupa. Aku kembali diam. Hingga kali ketiga ia bertanya, aku bersuara.
“ Bukan… Bukan dia yang tak bisa pergi dari hidupku.. Tapi akulah.. Akulah yang hadir dalam hidupnya. Aku tak mampu tanpanya.. Aku terlalu bergantung padanya.”
Ia, sang hitam itupun berlalu.. Beringsut. Menjauh bersama pekat yang tak kunjung hilang.

Diluar sana, terdengar sirine, entah mobil pemadam kebakaran, ambulan, atau polisi. Aku hanya diam mendengarkan dalam bingung. Ia pergi.. Namun pekat itu masih terasa. Apakah ia masih disini?

“Aku senang ahirnya kau bicara.. Pergilah dari hidupnya..” Ia masih disini

Sekelebat memori terlintas kembali. Siang yang terik, sedikit pekat menggantung di pojok langit. Telepon berdering, ku angkat. Suara diseberang memberi kabar yang mampu membuat bumi bergetar. Dia, ibu meninggal! Gantung diri dikamarku.. Aku diam. Bibirku mengukir senyum. Sudah kuduga.. Akan begini jadinya. Entah tak dapat kubayangkan bagaimana ekspresi pria garang itu saat kudengar kabar tersebut. Namun, setelah itu, pekat dipojok langit meluas!! Melebar! Semuanya pekat bagiku..

“ Pria itu pergi bersama wanita lain.. Kau tau itu.. Pria itu tak pernah mencintaimu.. Pria beraroma khasmu itu hanya bisa menyakitimu.. Andai saja..” Ucapannya terpotong.
Aku menginjakkan kakiku dibibir jendela. Kuku jemari kaki kananku menendang kacanya.
“ Andai saja waktu itu kau mau mendengarkanku yang menahan pergelangan tangan kananmu..”
Angin berhembus sepoi-sepoi menerpa wajahku. Lembut.. Aroma khas wanita itu tercium.. Bercamour dengan aroma udara diluar sana.. Seutas tali menggantung…
“ Apakah kau akan ikut bersamaku? Apa ahirnya kau akan menemaniku lagi?” Ia bertanya. Nadanya penuh harap.

Aku menoleh, menatap sendu. Perlahan pekat itu semakin menghampiriku. Kepalaku mendekati seutas tali itu. Sambil terus menatapnya, aku berbisik perlahan.
“ Ibu.. Tunggu aku.. Aku akan menujumu.. Menemanimu.. Memohon maaf padamu.. Aku menyesal ibu.. Dia.. Pria itu tak jauh lebih baik dibandingkan pria yang menjadi ayahku.. Maafkan aku ibu..”
Aku terisak perlahan. Namun senyumannya dalam pekat mampu membuatku tenang. Aku melompat. Hening.. Senyap. Waktu berhenti mendadak. Pekat itu semakin menjadi.. Semuanya pekat.. Meski mentari bersinar terang diluar sana….

“Terimakasih.. Anakku…” Ia tersenyum seraya memeluk rohku erat..

Dia.. Bayangan didalam pekat.. Ibuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

aQ & pikiranQ © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor